Pages

Friday, July 9, 2010

Indonesia...apakah selalu dibelakang?

PERSATUAN Rumah Sakit Indonesia Cabang Jawa Timur mengundang saya
untuk
menjadi pembicara di acara tahunan mereka di Surabaya, minggu lalu.
Maka,
berangkatlah saya. Di Bandara Soekarno-Hatta, beberapa menit saat
*boarding*,
saya dan sejumlah penumpang menunggu bus, yang mengantar dari *gate*
menuju
pesawat. Kami delapan orang dari Indonesia dan lima orang dari
Singapura.
Saya tahu identitas mereka, ketika mereka mengobrol dengan sesamanya.

Pas bus datang, saya melihat sebuah fenomena unik. Semua penumpang
asal
Singapura dengan enteng masuk bus lewat pintu depan. Anehnya, semua
penumpang Indonesia masuk lewat pintu belakang. Lho, kok beda?

Ketika acara hampir mulai di Surabaya, sebagian bangku di baris
depan masih
banyak yang kosong. Sedangkan bangku di belakang sudah penuh sesak.
Saya pun
mempersilakan peserta untuk mengisi bangku di depan, yang lebih baik
posisinya, karena bisa lebih jelas melihat dan mendengar presentasi.

Anehnya, tidak ada satu pun peserta yang termakan bujukan saya.
Malah ada
seorang peserta yang juga dokter *nyeletuk* dengan renyahnya: ''Ah,
biar di
belakang saja, lebih enak!'' Sempat saya tertawa mendengar celetukan
sang
dokter itu.

Ini penyakit kronis yang melanda bangsa ini. Kita semua merasa kurang
percaya diri sebagai bangsa. Entah kenapa, kita dijajah rasa malu,
rasa
ragu-ragu, dan rasa tidak yakin. Rasa pesimisme yang membuat lebih
enak, dan
nyaman di belakang mengambil posisi yang pasif.

Malam hari, saya tidak bisa tidur. Ada perasaan sedih yang sangat
dalam di
hati saya. Sebagai anak Indonesia, saya selalu bangga dengan
Indonesia. Apa
pun situasi dan statusnya. Tapi, kenapa kita masih juga bangga
dengan posisi
di belakang? Kenapa posisi belakang membuat kita lebih nyaman?

Pulang dari Surabaya, selang dua hari, saya berangkat menuju Medan.
Saat mau
*boarding*, kami diarahkan menuju *gate* nomor sekian. Tapi rupanya,
situasinya sama dengan beberapa hari yang lalu. Pesawat parkir di
tempat
lain. Terpaksa kami diantar dengan bus menuju *gate* yang dimaksud.
Kebetulan ada staf *airport* yang ikut mengantar kami. Ketika sampai
di *
gate* termaksud, kami dilarang lewat. Staf yang ikut dengan kami
dibentak.
Katanya, ada pesawat maskapai asing mau *boarding*. Baru saja mau
*boarding*dan belum
*boarding*, kami disuruh turun tangga dan mengambil jalan memutar.

Tentu saja saya jadi marah. Saya tersinggung, karena sang petugas
dengan
akal sehat sebenarnya bisa mempersilakan penumpang lewat. Dan itu
tidak akan
makan waktu barang semenit pun, tidak akan mengancam keselamatan
siapa pun,
dan tidak akan mengganggu operasi siapa pun. Namun staf yang
menyertai kami
dengan memelas meminta saya ikut dengan dia untuk mengalah, dan
mengambil
jalan memutar. Staf tersebut sambil meringis
berkomentar, ''Maklumlah, Pak,
warna seragam kami beda. Saya kalah pangkat.''

Yang membuat saya geram, karena pesawat yang mau *boarding* itu
kebetulan
pesawat maskapai asing. Dan kalau dengan orang asing, seolah-olah
kita
langsung kalah set, kalah status, dan kalah segala-galanya. Kita
dibikin
terbelakang secara sengaja.

Esok harinya, ketika mau pulang ke Jakarta, saya duduk di *lounge*
sambil
menikmati kopi. Tiba-tiba datang seorang staf. Di tiket saya, saat
itu
kebetulan saya mendapat nomor 1E, duduk di depan. Staf itu dengan
memelas
mengatakan bahwa tadi, ketika *check-in,* komputer mati, sehingga
saya
diberi nomor bangku yang salah. Saya pun marah dan naik pitam,
karena tiket
saya dicetak dengan komputer. Jadi, tidak mungkin komputer mati dan
salah
kasih nomor. Jelas, staf tadi cuma mengada-ada.

Usut punya usut, rupanya ada anggota DPR yang merasa terhina kalau
duduk di
belakang. Dia *ngotot* harus duduk di depan, supaya status dan
gengsinya
terjaga. Saya pun ditawari nomor kursi lain. Kata sang staf, ''Di
belakang
saja, Pak, lebih enak, sebelahnya kosong.'' Dengan terpaksa,
akhirnya saya
duduk di belakang.

Anehnya, ketika di pesawat, saya melihat di depan di nomor 1A,
ternyata ada
bule. Duh, hati saya menjadi sangat panas. Lho, kok beraninya hanya
menggeser orang Indonesia. Kenapa tidak berani menggeser bule? Malam
itu,
saya tidak bisa tidur lagi. Di dada saya ada sesuatu yang
menggelora. Saya
harus jadi presiden. Saya tidak mau lagi dibuat ke belakang dan
dijadikan
terbelakang. Saya mau jadi presiden, biar selalu dibuat ke depan dan
terdepan.

No comments:

Post a Comment