Pages

Friday, July 9, 2010

AirPutih - Penyejuk Dahaga Jiwa yang Terik

Dear Member Milis AirPutih,

AirPutih, adalah mailing list yang memuat tentang kisah kehidupan
dan informasi berbagai kisah nyata, pengalaman pribadi, hikayat, dongeng, inspirasi, legenda, cerita, pengalaman hidup dan berbagai macam informasi menarik lainnya yang anda bisa dapatkan dan manfaatkan sebaik mungkin.

AirPutih, isi dan kandungan didalamnya sepenuhnya didedikasikan untuk
publik, gratis [all free for free people], sangat diperbolehkan untuk membaca, mencerna, memaknai, dan mengaplikasikannya serta mengaktualisasikan kedalam kehidupan yang sesungguhnya.

AirPutih, secara alami mengalir dari hulu hingga hilir, demikian pula isi dan
kandungan AirPutih ini sangat diperkenankan untuk dibagi, disebarkan dan
dimanfaatkan sejauh untuk kepentingan antar sesama, karena kami tidak
bisa mengklaim ini semua sebagai hak milik. Kami -para moderator-
sejak awal sudah berniat menyuguhkan airputih sebagai wilayah publik.
Dalam keyakinan kami, KNOWLEDGE BELONGS TO THE WORLD. ilmu adalah milik
semesta alam.

<-~------------------------ www.AirPutih.tk ----------------------------~->
Airputih, Penyejuk Dahaga Jiwa yang Terik, untuk mendapatkannya tidak perlu membeli botolnya atau mengisi ulang, cukup liat websitenya dan bisa anda baca langsung arsip Airputih, tanpa harus menjadi members sekalipun.

KETIKA IBLIS MEMBENTANGKAN SAJADAH

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum'at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air.



Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah. "Hai, Blis!", panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik : "Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!", jawab Iblis ketus.





"Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!", Kiai mencoba mengusir.

"Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru". Kiai tercenung.

"Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu". "Dengan apa?"



"Dengan sajadah!"

"Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?"

"Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah.

Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!"



"Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?"

"Bukan itu saja Kiai..."

"Lalu?"

"Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar"

"Untuk apa?"

"Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah".



Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.





Keduanya masih melakukan sholat sunnah.

"Nah, lihat itu Kiai!", Iblis memulai dialog lagi.

"Yang mana?"

"Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka".



Iblis lenyap.

Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.

Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah.

Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya.

Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.



Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid.

Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.



Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.



Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.

"Astaghfirullahal adziiiim ", ujar sang Kiai pelan.

Indonesia...apakah selalu dibelakang?

PERSATUAN Rumah Sakit Indonesia Cabang Jawa Timur mengundang saya
untuk
menjadi pembicara di acara tahunan mereka di Surabaya, minggu lalu.
Maka,
berangkatlah saya. Di Bandara Soekarno-Hatta, beberapa menit saat
*boarding*,
saya dan sejumlah penumpang menunggu bus, yang mengantar dari *gate*
menuju
pesawat. Kami delapan orang dari Indonesia dan lima orang dari
Singapura.
Saya tahu identitas mereka, ketika mereka mengobrol dengan sesamanya.

Pas bus datang, saya melihat sebuah fenomena unik. Semua penumpang
asal
Singapura dengan enteng masuk bus lewat pintu depan. Anehnya, semua
penumpang Indonesia masuk lewat pintu belakang. Lho, kok beda?

Ketika acara hampir mulai di Surabaya, sebagian bangku di baris
depan masih
banyak yang kosong. Sedangkan bangku di belakang sudah penuh sesak.
Saya pun
mempersilakan peserta untuk mengisi bangku di depan, yang lebih baik
posisinya, karena bisa lebih jelas melihat dan mendengar presentasi.

Anehnya, tidak ada satu pun peserta yang termakan bujukan saya.
Malah ada
seorang peserta yang juga dokter *nyeletuk* dengan renyahnya: ''Ah,
biar di
belakang saja, lebih enak!'' Sempat saya tertawa mendengar celetukan
sang
dokter itu.

Ini penyakit kronis yang melanda bangsa ini. Kita semua merasa kurang
percaya diri sebagai bangsa. Entah kenapa, kita dijajah rasa malu,
rasa
ragu-ragu, dan rasa tidak yakin. Rasa pesimisme yang membuat lebih
enak, dan
nyaman di belakang mengambil posisi yang pasif.

Malam hari, saya tidak bisa tidur. Ada perasaan sedih yang sangat
dalam di
hati saya. Sebagai anak Indonesia, saya selalu bangga dengan
Indonesia. Apa
pun situasi dan statusnya. Tapi, kenapa kita masih juga bangga
dengan posisi
di belakang? Kenapa posisi belakang membuat kita lebih nyaman?

Pulang dari Surabaya, selang dua hari, saya berangkat menuju Medan.
Saat mau
*boarding*, kami diarahkan menuju *gate* nomor sekian. Tapi rupanya,
situasinya sama dengan beberapa hari yang lalu. Pesawat parkir di
tempat
lain. Terpaksa kami diantar dengan bus menuju *gate* yang dimaksud.
Kebetulan ada staf *airport* yang ikut mengantar kami. Ketika sampai
di *
gate* termaksud, kami dilarang lewat. Staf yang ikut dengan kami
dibentak.
Katanya, ada pesawat maskapai asing mau *boarding*. Baru saja mau
*boarding*dan belum
*boarding*, kami disuruh turun tangga dan mengambil jalan memutar.

Tentu saja saya jadi marah. Saya tersinggung, karena sang petugas
dengan
akal sehat sebenarnya bisa mempersilakan penumpang lewat. Dan itu
tidak akan
makan waktu barang semenit pun, tidak akan mengancam keselamatan
siapa pun,
dan tidak akan mengganggu operasi siapa pun. Namun staf yang
menyertai kami
dengan memelas meminta saya ikut dengan dia untuk mengalah, dan
mengambil
jalan memutar. Staf tersebut sambil meringis
berkomentar, ''Maklumlah, Pak,
warna seragam kami beda. Saya kalah pangkat.''

Yang membuat saya geram, karena pesawat yang mau *boarding* itu
kebetulan
pesawat maskapai asing. Dan kalau dengan orang asing, seolah-olah
kita
langsung kalah set, kalah status, dan kalah segala-galanya. Kita
dibikin
terbelakang secara sengaja.

Esok harinya, ketika mau pulang ke Jakarta, saya duduk di *lounge*
sambil
menikmati kopi. Tiba-tiba datang seorang staf. Di tiket saya, saat
itu
kebetulan saya mendapat nomor 1E, duduk di depan. Staf itu dengan
memelas
mengatakan bahwa tadi, ketika *check-in,* komputer mati, sehingga
saya
diberi nomor bangku yang salah. Saya pun marah dan naik pitam,
karena tiket
saya dicetak dengan komputer. Jadi, tidak mungkin komputer mati dan
salah
kasih nomor. Jelas, staf tadi cuma mengada-ada.

Usut punya usut, rupanya ada anggota DPR yang merasa terhina kalau
duduk di
belakang. Dia *ngotot* harus duduk di depan, supaya status dan
gengsinya
terjaga. Saya pun ditawari nomor kursi lain. Kata sang staf, ''Di
belakang
saja, Pak, lebih enak, sebelahnya kosong.'' Dengan terpaksa,
akhirnya saya
duduk di belakang.

Anehnya, ketika di pesawat, saya melihat di depan di nomor 1A,
ternyata ada
bule. Duh, hati saya menjadi sangat panas. Lho, kok beraninya hanya
menggeser orang Indonesia. Kenapa tidak berani menggeser bule? Malam
itu,
saya tidak bisa tidur lagi. Di dada saya ada sesuatu yang
menggelora. Saya
harus jadi presiden. Saya tidak mau lagi dibuat ke belakang dan
dijadikan
terbelakang. Saya mau jadi presiden, biar selalu dibuat ke depan dan
terdepan.

Mangkok Tanpa Alas

Seorang raja bersama pengiringnya keluar dari istananya untuk
menikmati udara pagi. Di keramaian, ia berpapasan dengan seorang
pengemis. Sang raja menyapa pengemis ini, "Apa yang engkau inginkan
dariku?" Si pengemis itu tersenyum dan berkata, "Tuanku bertanya,
seakan-akan tuanku dapat memenuhi permintaan hamba." Sang raja
terkejut, ia merasa tertantang, "Tentu saja aku dapat memenuhi
permintaanmu. Apa yang engkau minta, katakanlah!" Maka menjawablah
sang pengemis,"Berpikirlah dua kali, wahai tuanku, sebelum tuanku
menjanjikan apa-apa." Rupanya sang pengemis bukanlah sembarang
pengemis. Namun raja tidak merasakan hal itu. Timbul rasa angkuh dan
tak senang pada diri raja, karena mendapat nasihat dari seorang
pengemis. "Sudah aku katakan, aku dapat memenuhi permintaanmu. Apapun
juga! Aku adalah raja yang paling berkuasa dan kaya-raya." Dengan
penuh kepolosan dan kesederhanaan si pengemis itu mengangsurkan
mangkuk penadah sedekah,"Tuanku dapat mengisi penuh mangkuk ini
dengan apa yang tuanku inginkan." Bukan main! Raja menjadi geram
mendengar 'tantangan' pengemis dihadapannya. Segera ia memerintahkan
bendahara kerajaan yang ikut dengannya untuk mengisi penuh mangkuk
pengemis kurang ajar ini dengan emas! Kemudian bendahara menuangkan
emas dari pundi-pundi besar yang di bawanya ke dalam mangkuk sedekah
sang pengemis. Anehnya, emas dalam pundi-pundi besar itu tidak dapat
mengisi penuh mangkuk sedekah. Tak mau kehilangan muka di hadapan
akyatnya, sang raja terus memerintahkan bendahara mengisi mangkuk itu.
Tetapi mangkuk itu tetap kosong. Bahkan seluruh perbendaharaan
kerajaan: emas, intan berlian, ratna mutumanikam telah habis dilahap
mangkuk sedekah itu. Mangkuk itu seolah tanpa dasar, berlubang. Dengan
perasaan tak menentu, sang raja jatuh bersimpuh di kaki si pengemis,
ternyata dia bukan pengemis biasa, terbata-bata ia bertanya, "Sebelum
berlalu dari tempat ini, dapatkah tuan menjelaskan terbuat dari apakah
mangkuk sedekah ini?" Pengemis itu menjawab sambil tersenyum, "Mangkuk
itu terbuat dari keinginan manusia yang tanpa batas. Itulah yang
mendorong manusia senantiasa bergelut dalam hidupnya". Ada
kegembiraan, gairah emuncak di hati, pengalaman yang mengasyikkan kala
engkau menginginkan sesuatu. Ketika akhirnya engkau telah mendapatkan
keinginan itu, semua yang telah kau dapatkan itu, seolah tidak ada
lagi artinya bagimu. Semuanya hilang ibarat emas intan berlian yang
masuk dalam mangkuk yang tak beralas itu. Kegembiraan, gairah, dan
pengalaman yang mengasyikkan itu hanya tatkala dalam proses untuk
mendapatkan keinginan.. Begitu saja seterusnya, selalu kemudian datang
keinginan baru. Orang tidak pernah merasa puas. Ia selalu merasa
kekurangan." Anak cucumu kelak mengatakan : power tends to corrupt;
kekuasaan cenderung untuk berlaku tamak. Raja itu bertanya lagi,

"Adakah cara untuk dapat menutup alas mangkuk itu?" "Tentu ada,
yaitu rasa syukur kepada Tuhan.

Jika engkau pandai bersyukur, Tuhan akan menambah nikmat padamu,"
Ucap sang pengemis itu, sambil ia berjalan kemudian menghilang.